Selasa, 18 Juni 2013

Kritik Sastra dan Esai : Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya....”



Nama                          : Lu’luul Mukarromah
Nim                             : 09-520-0157
Kelas                           : B/2009
Mata Kuliah               : Kritik Sastra dan Esai
Dosen Pembimbing   : M. Shoim Anwar
Judul Cerpen             : Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya....”
Judul Esai                  : Etnis Tionghoa


ETNIS TIONGHOA
Dalam cerita yang berjudul Jawa, Cina, Madura nggak masalah yang penting rasanya karya M. Shoim Anwar itu saya ambil judul Etnis Tionghoa yaitu sebuah cerita yang menggambarkan masyarakat tersebut dalam membuat masakan sama-sama enak rasanya, cara penggorengannya sama cuma yang berbeda penjualnya itu tidak masalah yang penting rasanya yang terdapat di dalam kutipan halaman 186 adalah
Kue itu gorengannya sangat bagus hingga kulitnya tampak kuning mulus dan bersih. Isinya juga penuh sehingga kelihatan montok. Siapaun yang menjual gak masalah, yang penting rasa kuenya enak. Dia membawa kue pastel dagangannya itu kesana kemari disekitar jalan Pengampon. Dia selalu berkata “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya.
Kewarganegaraan Orang Cina Peranakan Masyarakat etnis Cina/Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad lalu. Mereka melebur manjadi 'warga setempat' yang memiliki pasang-surut sejarah panjang, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnis Cina adalah pendatang (terlepas dari kenyataan bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi hal baru) yang terdapat pada kutipan halaman 180 adalah
 Lelaki itu berwajah putih bersih. Sepertinya etnis Cina. Dia memakai kaos putih dan bercelana pendek warna krem. Rambutnya berminyak dan tersisir rapi ke belakang. Sambil tetap tersenyum dia berbisik kembali ke telinga saya sambil mengacungkan jempolnya.
Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian integral kehidupan orang Cina di Indonesia. Yang perlu dipersoalkan adalah apakah pendatang tak punya hak di tempat ia tinggal sekarang, terlebih jika telah hidup bergenerasi ratusan tahun di situ? Hak untuk hidup di tempat tinggalnya sekarang secara legal sudah dilindungi undang-undang, terutama karena warga Cina telah memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), lengkap dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Jadi secara sosiologis, posisi warga etnis seperti kutipan halaman 183 adalah
Dulu toko orang tuanya besar. Sewaktu huru-hara, toko orang-orang Cina di sini dirusak dan dijarah massa. Habis semua. Kaca-kacanya pecah berantakan, juru parkir itu menuding-nuding ke tengah jalan.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa di era Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tercatat dua peristiwa yang dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat Cina, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa hukuman karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar